Minggu, 04 Oktober 2009
Produktivitas PNS Kita
Kamis, 24 September 2009
Akibat Nila Sebelanga, Rusak Susu ...
Ironisnya, dari hasil investigasi, masih banyak yang belum memenuhi tuntutan pengembalian uang tersebut. Lobi-lobi politik pun banyak dilakukan agar dapat meringankan atau mendispensasi kewajiban mengembalikan uang yang sudah terlanjur diterima dan bahkan sudah habis dinikmati bersama keluarga. Siapapun pasti merasa dirugikan dengan PP baru tersebut. Namun, melihat kinerja kebanyakan legislator kita, baik di pusat ataupun di daerah wajar kiranya rakyat kecewa jika mereka menerima uang yang tergolong besar tersebut. Meskipun tentunya masih terdapat legislator yang berkinerja baik. Itulah akibatnya jika beberapa orang menunjukkan sesuatu yang buruk, yang lain pun ikut merasakan dampaknya. Orang bilang,”Akibat nila sebelanga rusak susu setitik”. Eh.. kebalik. Tapi jangan-jangan betul. Betul. Betul. Betul.
Minggu, 20 September 2009
Cegah Terorisme dengan Membatasi Ruang Hidupnya
Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita bukanlah tewasnya seseorang. Tewasnya Noordin bisa saja justeru menjadi pemicu sebuah “perang”. Teror balas dendam para pengikut setianya patut untuk mendapat perhatian, agar kita tak merasa sangat puas dan akhirnya lengah. Setiap saat kejadian-kejadian serupa bisa saja muncul lagi.
Sangat perlu bagi kita untuk melakukan antisipasi dini untuk mengurangi ruang gerak dan berkembangnya terorisme. Dari pendekatan civil society, setidaknya kita dapat melakukan beberapa hal berikut.
Pertama, lakukan refungsionalisasi dan revitalisasi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di sekitar kita, seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, Karang Taruna, dsb. Lembaga-lembaga tersebut harus meningkatkan kepeduliannya terhadap mobilitas dan aktivitas masyarakatnya. Menjadi pengurus RT/RW tentu bukan sekadar ngurusin KTP warga. Tapi menjaga kerukunan, kenyamanan, dan ketentraman jauh lebih berarti. Apalagi di banyak Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga ini telah diberikan insentif khusus untuk menunjang kegiatannya, meskipun tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
Kedua, aktifkan kembali sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dahulu pernah ada dan mungkin di beberapa daerah masih berjalan. Siskamling lebih baik dilakukan secara bergiliran oleh warga setempat. Namun di kota-kota yang warganya super sibuk, hal itu sulit dilakukan. Karenanya, jika ditugaskan orang khusus yang dibayar, harus ada penekanan untuk selalu waspada dan berkomunikasi dengan warga.
Ketiga, tingkatkan kepedulian hidup bertetangga. Lihat gerak-gerik yang mencurigakan terutama jika ada orang-orang baru atau tamu yang sering keluar masuk rumah dan lingkungan tertentu. Pedulilah dengan mereka yang bernasib kurang baik, miskin, atau pengangguran.
Keempat, ajarkan keluarga Anda perihal yang benar dari Agama. Ingat ajaran “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Kalau yang terakhir ini saja kita semua pegang, pasti banyak masalah yang bisa diatasi. Tidak ada lagi yang ikut-ikutan jadi teroris. Dan juga tak ada lagi remaja yang nge-drug.
Rabu, 16 September 2009
Memberantas Korupsi Tanpa KPK ?
Mencermati prestasi KPK selama ini yang sukses dalam membuikan banyak koruptor, baik itu dari kalangan pusat maupun daerah membuat banyak pihak semakin ketakutan. Banyak pejabat sudah tidak bisa tidur nyeyak lagi karena khawatir setiap saat bisa-bisa dijemput KPK dan berpindah tempat tidur. Bagi yang clean tidak seharusnya demikian. Pertanyaannya, masih adakah pejabat negeri ini yang tidak terlibat sama sekali dalam lingkaran setan yang bernama korupsi. Tidak saja di pusat, bahkan di daerah pun cenderung semakin parah dari tahun ke tahun pada era otonomi. Dulu, di mana uang terkonsentrasi di pusat, korupsi pun minim sekali di daerah. Tapi ketika politik desentralisasi dimulai, korupsi pun ikut-ikut terdesentralisasi. Barangkali terdapat hubungan korelasional yang sangat logis antara keduanya: Di mana banyak uang, di sanalah korupsi bersemi. Model pilkada langsung juga bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan logika bahwa pilkada langsung mendorong munculnya fenomena tim sukses. Ikatan emosional yang kuat antara orang-orang di dalamnya dengan si kepala daerah yang suskes dihantarkannya ke kursi nomor 1 otomatis menciptakan budaya balas budi atau balas jasa. Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat pertalian familisme yang pada akhirnya rawan KKN (Baca tulisan Seymour Martin Lipset dan Gabriel Salman Lenz dalam Korupsi, Budaya, dan Pasar dalam buku Kebangkitan Peran Budaya).
Sebelum terbentuknya KPK, penanganan masalah korupsi menjadi kewenangan penuh institusi kepolisian dan kejaksaan. Namun dalam perjalanan, keduanya tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan keduanya dianggap tidak mampu menjalankan misinya. Image yang terbangun di masyarakat luas, kedua institusi ini pun tidak bersih dari korupsi sehingga dipertanyakan kesungguhannya untuk memberantas korupsi. Tidak sedikit insan penegak hukum itu yang justeru akhirnya menjadi penghuni hotel prodeo akibat kasus korupsi. Dalam kondisi “distrust” inilah lahir KPK yang pada akhirnya menjadi lembaga berjuluk superbody yang terkenal dengan kemampuan luar biasa dan tidak pandang bulunya dalam memberantas korupsi. Namun, mungkin justeru karena sikap tidak pandang bulunya itulah yang akhirnya menjadi “boomerang”.
Dengan semakin merebaknya korupsi sampai ke daerah-daerah kini, selain KPK, akankah rakyat dipaksa untuk percaya kepada institusi lain yang sudah terlanjur tidak berprestasi di mata rakyat? Andaikan KPK benar dililit kasus korupsi para pimpinannya seperti disangkakan, kepada siapa lagi kita percaya di negeri ini ???
Kamis, 10 September 2009
Birokrasi Terjebak Pragmatisme
Otonomi daerah tentu saja memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di tingkat local. Rakyat di daerah kini memiliki kesempatan yang besar untuk melibatkan diri dalam perpolitikan daerah. Tidak sedikit kita lihat mereka yang tiba-tiba muncul jadi politisi. Semua orang seperti terdorong untuk ikut dalam setiap kesempatan berkompetisi, menjual popularitas, menjajal kepiawaian menarik simpati rakyat demi memperoleh posisi ‘terhormat’. Menjadi orang nomor satu adalah sasaran utama. Bagi yang belum yakin minimal melakukan uji popularitas dulu merebut salah satu kursi legislatif.
Tim sukses pun banyak bermunculan untuk meloloskan “jago” masing-masing. Ada kebanggaan dan harapan tersendiri sudah pasti menyelimuti setiap orang yang menjadi tim sukses atau TS. Dekat dengan orang yang memiliki kekuasaan adalah sebuah kebahagiaan luar biasa bagi sebagian besar masyarakat kita. Maklum, banyak dari kita yang berorientasi kekuasaan. Tidak salah kalau kita dikatakan masih memegang erat budaya paternalisme. Realitas pun menyatakan bahwa mereka yang dekat dengan kekuasaan memperoleh keistimewaan-keistimewaan tertentu.
Adalah manusiawi jika seorang yang sukses mencapai keinginannya memperoleh sesuatu melakukan balas budi kepada mereka yang mengantarkannya kepada kesuksesan itu. Sebaliknya jika tidak, maka ia dikatakan sebagai orang yang tak tahu balas budi atau tidak mengerti berterima kasih. Lebih buruk lagi, durhako!
Tidak saja di kalangan masyarakat umumnya, fenomena tim sukses bahkan merasuk dalam birokrasi. Lihat saja pilkada-pilkada yang berlangsung, selalu ada dukung-mendukung calon yang tidak jarang melembaga menjadi sebuah tim; tim sukses si A, tim sukses si B, dsb. Apalagi jika ada birokrat yang selama di bawah kepemimpinan kepala daerah yang ada merasa diperlakukan tidak adil, didiskriminasi oleh si kepala daerah dan antek-anteknya. Bahkan tidak sedikit birokrat seperti itu mengambil langkah lebih maju lagi; ikut bertarung merebut kursi nomor satu. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua, karena berpolitik adalah hak setiap warga negara. Dan fenomena TS di kalangan birokrasi maupun di masyarakat umum tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, meskipun kode etik tidak membenarkannya. Dengan kata lain, birokrasi kini terjebak dalam pragmatisme. Alhasil, birokrasi tidak lagi berasaskan profesionalisme!
Selasa, 02 Juni 2009
Si Jiran Yang Serakah
Namun, lama-lama kesan itu ternyata tidak lebih sekadar TOPENG belaka. Kebusukan ternyata berada di balik koin yang sama beriringan dengan sikap berani dan tegasnya. Sudah sering kita lihat dan dengar betapa ‘busuk’ watak si yang ternyata menggambarkan betapa tidak Islaminya mereka. Kita yang menjadi tetangga terdekat tentu merupakan pihak pertama yang merasakan akibat kebusukan mereka yang sangat tidak terhormat itu. Mulai dari persoalan TKI hingga politik. Begitu banyak berita di mana orang-orang Indonesia yang menjadi TKI mendapat perlakuan tidak senonoh oleh majikannya di sana. Orang kita selalu dikejar-kejar oleh polisinya karena dianggap pendatang ‘haram’. Pemindahan tanda batas berpuluh kilometer di Kalimantan, semakin menjelaskan kecurangannya. Terakhir kasus Ambalat mencuat lagi. Malah kapal perangnya pura-pura bodoh dan tuli layaknya “preman mabuk” ketika masuk wilayah Indonesia yang jelas-jelas sudah diakui dunia Internasional. Kalau saja kita tidak lebih beradabnya dari mereka, maka kesabaran tentu sudah lama lenyap. Geram anak bangsa seakan tak terbendung ketika melihat perilaku si jiran seperti itu. Apakah jiran yang memiliki sifat busuk seperti itu masih pantas dihormati? Kalau Islam mengajarkan bahwa seburuk-buruk jiran adalah yang membuat tetangganya tidak tenang karenanya, maka masih adakah predikat terhormat yang pantas kita berikan untuk menjuluki negeri yang SERAKAH itu?
Minggu, 31 Mei 2009
Uang Purna Tugas Dewan, Perlukah?
Rabu, 27 Mei 2009
Pemerintahan Yang Bermakna
Namun demikian, kebangkitan daerah dari ketertinggalan tentu tidak serta merta terjadi dalam waktu singkat. Sebagian ada yang sudah berhasil dengan sangat baik bahkan mendahului yang lain. Namun sangat banyak yang terkesan biasa-biasa saja tidak berbeda dengan era sebelumnya, alias jalan di tempat. Ada banyak variabel yang bermain dalam menentukan keberhasilan otonomi, baik politik, potensi ekonomi, SDM, dsb.
Dominasi politik tingkat lokal seringkali dianggap sebagai sumber kekeliruan yang menghambat pencapaian tujuan otonomi. Karena ternyata, desentralisasi juga pada banyak kasus mengakibatkan munculnya dominasi kepentingan elit lokal dalam praktik berpemerintahan di daerah. Bahkan politisasi birokrasi sudah menjadi rahasia umum para elit untuk menggapai kepentingan individu atau kelompok tertentu. Oleh karenanya sangat dikhawatirkan, birokrasi menjadi semakin tidak profesional dan karenanya kurang berdaya. Hal ini semakin parah jika tidak dimilikinya standar kompetensi untuk jabatan-jabatan di birokrasi.
Dari dimensi administrasi, asas profesionalisme menjadi dasar bagi terwujudnya birokrasi yang akuntabel, yang dapat mempertanggung jawabkan tindakannya bahkan kepada masyarakat sebagai ‘pemegang saham’ negara, tidak sebatas tanggung jawab administratif kepada atasan. Adalah “kepercayaan” yang menjadi kata kunci untuk mempekerjakan seseorang pada posisi tertentu dalam birokrasi. Sangatlah wajar untuk menunjuk orang yang sudah teruji kesetiannya, demi lancarnya komando dan koordinasi program. Tentu akan sangat lebih berarti lagi, jika itu disertai dengan pertimbangan profesionalisme sebagai dasar kepercayaan di samping pertimbangan politis.
Bukan hanya masyarakat yang akan dirugikan jika birokrasi ternyata tidak kredibel untuk mewujudkan misi pemerintahan. Namun justeru dengan itu pula akan berdampak kontra produktif bagi pemerintahan yang sedang berjalan untuk meraih kepercayaan masyarakat berikutnya. Masyarakat yang kian cerdas akan menilai sejauhmana sukses yang diraih dan manfaat yang diberikan pemerintahannya. Sikap masyarakat demikian terus berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan hak-haknya sebagai warga negara (citizen). Masyarakat sudah jenuh dengan posisinya selama ini yang tidak lebih sebagai client dari pemerintah. Inilah yang dinamakan sebagai pergeseran paradigma administrasi yang menuntut pemerintah untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan eksternalnya. Trend golongan putih dalam pemilihan kepala daerah di beberapa tempat yang berkisar di angka 40 persen bisa menjadi indikator.
Dampak internal pengabaian asas profesionalisme adalah semakin melemahnya motivasi para birokrat untuk bekerja lebih kreatif dan inovatif. Mereka beranggapan itu semua tidak menjadi faktor determinan bagi karir seseorang. Dominasi politik juga menjadikan birokrat khususnya level bawah bersikap extra hati-hati dan cenderung takut mengambil resiko. Sikap hati-hati tentu baik, tapi jika berlebihan akan menjadikan pemerintahan kurang dinamik dan sulit menghasilkan terobosan-terobosan inovatif sebagai ciri organisasi modern. Kalau ini berlangsung terus menerus, maka tubuh pemerintahan sedang menuju “mati suri”. Padahal agar pemerintahan lebih bermanfaat bagi masyarakat, dibutuhkan banyak inovasi yang otomatis menuntut sikap berani mengambil resiko, bukan birokrasi yang hanya pandai menghafal dan menaati beragam peraturan dan prosedur.
Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan berotonomi sehingga lebih memberi makna hadirnya pemerintahan di tengah masyarakat, syarat pertama yang harus ada yaitu political will para elit untuk sama-sama welcome terhadap perubahan. Selanjutnya adalah mengeliminir dominasi dan intervensi politik atas birokrasi. Jika prakondisi ini telah tercapai, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana membentuk birokrasi yang profesional untuk mewujudkan tujuan pemerintahan otonom sekaligus memperkuat dukungan rakyat.
Dalam konteks ini, menumbuhkan semangat kewirausahaan dalam pemerintahan menjadi penting. Konsep entrepreneurial government tidak berarti menjadikan birokrasi seperti entitas bisnis yang mengukur kesusksesan dari dimensi finansial. Ia harus dimaknai sebagai sebuah semangat atau spirit untuk bekerja lebih kreatif dan inovatif guna mencapai tujuan otonomi : meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah perlunya birokrasi yang profesional.
Dalam paradigma seperti ini, tidak relevan lagi menjadikan isu minimnya sumber daya alam sebagai dalih tidak berbuat lebih baik. Banyak negara dan daerah yang minus sumber daya alam, ternyata lebih maju dari lainnya. Beberapa daerah otonom dan negara-negara yang mampu mentransformasikan nilai-nilai entrepreneurship ke tubuh birokrasinya sudah membuktikan hipotesis ini. Hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa modal sumber daya alam bukan penentu untuk menjadikan pemerintahan lebih bermakna.