Minggu, 04 Oktober 2009

Produktivitas PNS Kita

Musim penerimaan CPNS telah tiba. Masih banyak rupanya warga bangsa yang kepincut untuk menjadi abdi masyarakat yang satu ini. Profesi PNS ternyata menjadi promadona bagi orang yang mulai masuk dunia kerja. Para orang tua pun lebih senang untuk mengarahkan anak-anaknya supaya mau jadi PNS kalau sudah selesai sekolah atau kuliah. Maklum, kerjanya sedikit gajinya jelas dan predictable. Apalagi kalau mau ngutang di bank, tinggal pilih. Bank mana yang tidak tertarik untuk meminjamkan uangnya kepada PNS, karena sangat jarang PNS yang macet setor utang. Nggak bisa kerja pun nggak apa-apa. Nggak rajin masuk biarpun berbulan-bulan juga nggak gampang diberhentikan koq. Gaji yang diterima juga sama saja dengan pegawai yang disiplin, rajin atau bahkan tergolong pintar. Kata orang PGPS. Artinya Pintar atau Goblok, Penghasilan Sama. Enak toh... mantap toh...
Itulah segelintir profil pegawai negeri sipil di negeri kita tercinta ini, Indonesia Raya. Kalau saja rakyat melihat apa yang dikerjakan oleh sebagian besar PNS kita di kantornya, pasti banyak yang kecewa. Meskipun telah ditetapkan jam kerja PNS yaitu 7,5 jam per hari, namun banyak juga yang datang hanya untuk mengisi daftar hadir, setor muka, baca koran, say hello, lalu kabur entah ke mana. Besok pun terulang dan terulang lagi.
Selain itu, sekian banyak uang yang ditarik dari rakyat melalui pajak yang mereka bayarkan atau melalui penjualan kekayaan negeri ternyata digunakan diantaranya untuk memberi makan para pegawai yang tidak produktif. Suatu hasil penelitian beberapa waktu lalu menunjukkan rata-rata 70% dari APBD daerah-daerah di Indonesia pasca reformasi digunakan untuk membiayai kebutuhan birokrasi sendiri. Untuk rakyat tinggal 30%. Dapat anda bayangkan betapa tidak produktifnya birokrasi kita, makan terlalu banyak untuk kerja sedikit. Weleh...weleh...








Kamis, 24 September 2009

Akibat Nila Sebelanga, Rusak Susu ...

Para legislator, khususnya periode 2004-2009 kini sedang tak nyenyak tidur. Apa pasal? Mereka diminta untuk mengembalikan uang tunjangan komunikasi dan dana operasional yang telah mereka terima sejak dikeluarkannya PP No. 37 Tahun 2006. Padahal besaran uang tersebut tidaklah kecil, ratusan juta rupiah per senator telah menikmatinya. Bagaimana tidak, karena PP tersebut berlaku surut dan diterima dalam bentuk rapelan. Wow… trilyunan uang rakyat mengalir ke saku para legislator kala itu. Tentu tidak seorangpun menyangka bakal menuai masalah di kemudian hari. Desakan masyarakat yang menolak PP tersebut akhirnya terpaksa direspon Pemerintah dengan mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2007 yang menganulirnya. Alhasil, para legislator di deadline untuk mengembalikan uang tersebut paling lambat satu bulan sebelum berakhirnya masa bakti mereka tahun 2009. Jadi ingat pepatah orang tua “Di balik kesulitan ada kemudahan, di balik kenikmatan sengsara menghadang”.

Ironisnya, dari hasil investigasi, masih banyak yang belum memenuhi tuntutan pengembalian uang tersebut. Lobi-lobi politik pun banyak dilakukan agar dapat meringankan atau mendispensasi kewajiban mengembalikan uang yang sudah terlanjur diterima dan bahkan sudah habis dinikmati bersama keluarga. Siapapun pasti merasa dirugikan dengan PP baru tersebut. Namun, melihat kinerja kebanyakan legislator kita, baik di pusat ataupun di daerah wajar kiranya rakyat kecewa jika mereka menerima uang yang tergolong besar tersebut. Meskipun tentunya masih terdapat legislator yang berkinerja baik. Itulah akibatnya jika beberapa orang menunjukkan sesuatu yang buruk, yang lain pun ikut merasakan dampaknya. Orang bilang,”Akibat nila sebelanga rusak susu setitik”. Eh.. kebalik. Tapi jangan-jangan betul. Betul. Betul. Betul.

Minggu, 20 September 2009

Cegah Terorisme dengan Membatasi Ruang Hidupnya

Berita tewasnya Noordin M. Top, si gembong teroris asal negeri jiran Malaysia di tangan Densus 88 ramai menghiasi pemberitaan media massa. Sebagian besar kita tentu merasa bahagia di atas kematian seorang yang sekian lama membuat banyak orang selalu was-was. Was-was di tengah keramaian, was-was berada di hotel mewah, was-was berkunjung ke tempat-tempat wisata terutama yang dijubeli banyak turis asing. Pasti bukanlah mimpi setiap jiwa untuk hidup dalam ketidaktenangan, betapapun status sosial yang melatarinya. Meskipun Noordin telah mengakhiri petualangannya diujung senjata, tidak seorangpun mampu memastikan aksi-aksi terorisme pun berakhir. Dengan berbagai alasan, tidak saja latar agama sebagai pembenar dalih jihad, teror-teror akan tetap ada sepanjang masa. Kesenjangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb menjadi triger munculnya ketidakpuasan. Apalagi jika hal itu dilengkapi dengan biasnya pengetahuan agama yang dimiliki.

Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita bukanlah tewasnya seseorang. Tewasnya Noordin bisa saja justeru menjadi pemicu sebuah “perang”. Teror balas dendam para pengikut setianya patut untuk mendapat perhatian, agar kita tak merasa sangat puas dan akhirnya lengah. Setiap saat kejadian-kejadian serupa bisa saja muncul lagi.

Sangat perlu bagi kita untuk melakukan antisipasi dini untuk mengurangi ruang gerak dan berkembangnya terorisme. Dari pendekatan civil society, setidaknya kita dapat melakukan beberapa hal berikut.

Pertama, lakukan refungsionalisasi dan revitalisasi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di sekitar kita, seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, Karang Taruna, dsb. Lembaga-lembaga tersebut harus meningkatkan kepeduliannya terhadap mobilitas dan aktivitas masyarakatnya. Menjadi pengurus RT/RW tentu bukan sekadar ngurusin KTP warga. Tapi menjaga kerukunan, kenyamanan, dan ketentraman jauh lebih berarti. Apalagi di banyak Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga ini telah diberikan insentif khusus untuk menunjang kegiatannya, meskipun tidak cukup untuk menghidupi keluarga.

Kedua, aktifkan kembali sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dahulu pernah ada dan mungkin di beberapa daerah masih berjalan. Siskamling lebih baik dilakukan secara bergiliran oleh warga setempat. Namun di kota-kota yang warganya super sibuk, hal itu sulit dilakukan. Karenanya, jika ditugaskan orang khusus yang dibayar, harus ada penekanan untuk selalu waspada dan berkomunikasi dengan warga.

Ketiga, tingkatkan kepedulian hidup bertetangga. Lihat gerak-gerik yang mencurigakan terutama jika ada orang-orang baru atau tamu yang sering keluar masuk rumah dan lingkungan tertentu. Pedulilah dengan mereka yang bernasib kurang baik, miskin, atau pengangguran.

Keempat, ajarkan keluarga Anda perihal yang benar dari Agama. Ingat ajaran “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Kalau yang terakhir ini saja kita semua pegang, pasti banyak masalah yang bisa diatasi. Tidak ada lagi yang ikut-ikutan jadi teroris. Dan juga tak ada lagi remaja yang nge-drug.



Rabu, 16 September 2009

Memberantas Korupsi Tanpa KPK ?

Beberapa bulan terakhir, semakin ramai perseteruan yang terjadi antara beberapa institusi penegak hukum di negeri ini. KPK yang selama ini sepak terjangnya mendapat pengakuan luar biasa dari masyarakat, kini seperti menjadi “musuh” bersama institusi penegak hukum lain. Banyak pertanyaan yang muncul di benak setiap kita. Mengapa mereka seperti “memusuhi” KPK? Adakah disebabkan oleh perasaan bersaing antar institusi? Bagaimana nasib KPK selanjutnya, apabila para pimpinannya masuk bui dan anggotanya ramai-ramai mengundurkan diri? Bagaimana pula penanganan masalah korupsi selanjutnya?

Mencermati prestasi KPK selama ini yang sukses dalam membuikan banyak koruptor, baik itu dari kalangan pusat maupun daerah membuat banyak pihak semakin ketakutan. Banyak pejabat sudah tidak bisa tidur nyeyak lagi karena khawatir setiap saat bisa-bisa dijemput KPK dan berpindah tempat tidur. Bagi yang clean tidak seharusnya demikian. Pertanyaannya, masih adakah pejabat negeri ini yang tidak terlibat sama sekali dalam lingkaran setan yang bernama korupsi. Tidak saja di pusat, bahkan di daerah pun cenderung semakin parah dari tahun ke tahun pada era otonomi. Dulu, di mana uang terkonsentrasi di pusat, korupsi pun minim sekali di daerah. Tapi ketika politik desentralisasi dimulai, korupsi pun ikut-ikut terdesentralisasi. Barangkali terdapat hubungan korelasional yang sangat logis antara keduanya: Di mana banyak uang, di sanalah korupsi bersemi. Model pilkada langsung juga bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan logika bahwa pilkada langsung mendorong munculnya fenomena tim sukses. Ikatan emosional yang kuat antara orang-orang di dalamnya dengan si kepala daerah yang suskes dihantarkannya ke kursi nomor 1 otomatis menciptakan budaya balas budi atau balas jasa. Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat pertalian familisme yang pada akhirnya rawan KKN (Baca tulisan Seymour Martin Lipset dan Gabriel Salman Lenz dalam Korupsi, Budaya, dan Pasar dalam buku Kebangkitan Peran Budaya).

Sebelum terbentuknya KPK, penanganan masalah korupsi menjadi kewenangan penuh institusi kepolisian dan kejaksaan. Namun dalam perjalanan, keduanya tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan keduanya dianggap tidak mampu menjalankan misinya. Image yang terbangun di masyarakat luas, kedua institusi ini pun tidak bersih dari korupsi sehingga dipertanyakan kesungguhannya untuk memberantas korupsi. Tidak sedikit insan penegak hukum itu yang justeru akhirnya menjadi penghuni hotel prodeo akibat kasus korupsi. Dalam kondisi “distrust” inilah lahir KPK yang pada akhirnya menjadi lembaga berjuluk superbody yang terkenal dengan kemampuan luar biasa dan tidak pandang bulunya dalam memberantas korupsi. Namun, mungkin justeru karena sikap tidak pandang bulunya itulah yang akhirnya menjadi “boomerang”.

Dengan semakin merebaknya korupsi sampai ke daerah-daerah kini, selain KPK, akankah rakyat dipaksa untuk percaya kepada institusi lain yang sudah terlanjur tidak berprestasi di mata rakyat? Andaikan KPK benar dililit kasus korupsi para pimpinannya seperti disangkakan, kepada siapa lagi kita percaya di negeri ini ???

Kamis, 10 September 2009

Birokrasi Terjebak Pragmatisme

Otonomi daerah tentu saja memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di tingkat local. Rakyat di daerah kini memiliki kesempatan yang besar untuk melibatkan diri dalam perpolitikan daerah. Tidak sedikit kita lihat mereka yang tiba-tiba muncul jadi politisi. Semua orang seperti terdorong untuk ikut dalam setiap kesempatan berkompetisi, menjual popularitas, menjajal kepiawaian menarik simpati rakyat demi memperoleh posisi ‘terhormat’. Menjadi orang nomor satu adalah sasaran utama. Bagi yang belum yakin minimal melakukan uji popularitas dulu merebut salah satu kursi legislatif.

Tim sukses pun banyak bermunculan untuk meloloskan “jago” masing-masing. Ada kebanggaan dan harapan tersendiri sudah pasti menyelimuti setiap orang yang menjadi tim sukses atau TS. Dekat dengan orang yang memiliki kekuasaan adalah sebuah kebahagiaan luar biasa bagi sebagian besar masyarakat kita. Maklum, banyak dari kita yang berorientasi kekuasaan. Tidak salah kalau kita dikatakan masih memegang erat budaya paternalisme. Realitas pun menyatakan bahwa mereka yang dekat dengan kekuasaan memperoleh keistimewaan-keistimewaan tertentu.

Adalah manusiawi jika seorang yang sukses mencapai keinginannya memperoleh sesuatu melakukan balas budi kepada mereka yang mengantarkannya kepada kesuksesan itu. Sebaliknya jika tidak, maka ia dikatakan sebagai orang yang tak tahu balas budi atau tidak mengerti berterima kasih. Lebih buruk lagi, durhako!

Tidak saja di kalangan masyarakat umumnya, fenomena tim sukses bahkan merasuk dalam birokrasi. Lihat saja pilkada-pilkada yang berlangsung, selalu ada dukung-mendukung calon yang tidak jarang melembaga menjadi sebuah tim; tim sukses si A, tim sukses si B, dsb. Apalagi jika ada birokrat yang selama di bawah kepemimpinan kepala daerah yang ada merasa diperlakukan tidak adil, didiskriminasi oleh si kepala daerah dan antek-anteknya. Bahkan tidak sedikit birokrat seperti itu mengambil langkah lebih maju lagi; ikut bertarung merebut kursi nomor satu. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua, karena berpolitik adalah hak setiap warga negara. Dan fenomena TS di kalangan birokrasi maupun di masyarakat umum tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, meskipun kode etik tidak membenarkannya. Dengan kata lain, birokrasi kini terjebak dalam pragmatisme. Alhasil, birokrasi tidak lagi berasaskan profesionalisme!

Selasa, 02 Juni 2009

Si Jiran Yang Serakah

Di mata sebagian kita, negeri jiran itu terkenal tegas dan lantang kepada negara adikuasa yang seringkali bersikap pongah dan tidak adil terutama terhadap negara-negara yang notabene berbendera Islam. Kita pun sering membanggakannya, karena ia merupakan salah satu negera yang berani melawan hegemoni AS. Sementara lainnya lebih cenderung cari selamat sendiri-sendiri tanpa berani berkomentar sepatah katapun ketika saudara-saudaranya dinistakan oleh AS dan sekutunya. Berapa banyak negara serupa yang kaya raya, banyak rakyatnya, hanya diam membisu meski tahu saudaranya diinjak-injak di negerinya sendiri oleh pihak asing.
Namun, lama-lama kesan itu ternyata tidak lebih sekadar TOPENG belaka. Kebusukan ternyata berada di balik koin yang sama beriringan dengan sikap berani dan tegasnya. Sudah sering kita lihat dan dengar betapa ‘busuk’ watak si yang ternyata menggambarkan betapa tidak Islaminya mereka. Kita yang menjadi tetangga terdekat tentu merupakan pihak pertama yang merasakan akibat kebusukan mereka yang sangat tidak terhormat itu. Mulai dari persoalan TKI hingga politik. Begitu banyak berita di mana orang-orang Indonesia yang menjadi TKI mendapat perlakuan tidak senonoh oleh majikannya di sana. Orang kita selalu dikejar-kejar oleh polisinya karena dianggap pendatang ‘haram’. Pemindahan tanda batas berpuluh kilometer di Kalimantan, semakin menjelaskan kecurangannya. Terakhir kasus Ambalat mencuat lagi. Malah kapal perangnya pura-pura bodoh dan tuli layaknya “preman mabuk” ketika masuk wilayah Indonesia yang jelas-jelas sudah diakui dunia Internasional. Kalau saja kita tidak lebih beradabnya dari mereka, maka kesabaran tentu sudah lama lenyap. Geram anak bangsa seakan tak terbendung ketika melihat perilaku si jiran seperti itu. Apakah jiran yang memiliki sifat busuk seperti itu masih pantas dihormati? Kalau Islam mengajarkan bahwa seburuk-buruk jiran adalah yang membuat tetangganya tidak tenang karenanya, maka masih adakah predikat terhormat yang pantas kita berikan untuk menjuluki negeri yang SERAKAH itu?

Minggu, 31 Mei 2009

Uang Purna Tugas Dewan, Perlukah?

Ada banyak sekali pertanyaan sangat penting yang mengharuskan kita berpikir ulang perluya uang purna bakti anggota legislatif. Pertama, mari kita cermati dari aspek motivasi para caleg. Berapa banyak sih orang yang mencaleg-kan dirinya dengan motivasi tidak untuk mencari uang atau menambah popularitas supaya nanti bisa jadi Gubernur, Bupati, atau Walikota? Saya yakin, hanya kurang dari 1 % yang bermaksud mengabdikan diri pada bangsa dan negara serta kepentingan rakyat banyak. Selebihnya, ya hitung sendiri! Lihat saja, kalau mereka tidak dimotivisir oleh kebutuhan uang, tentu nggak perlu stres atau gila bila gagal terpilih, apalagi memalsukan ijasah segala. Kalau mereka punya maksud untuk kepentingan rakyat atau bangsa, nggak perlu dong minta pamrih berlebihan! Bandingan dengan TNI, POLRI, dan PNS yang siap ditempatkan di mana saja hingga pelosok-pelosok yang anggota dewan itu tak bakal mau berlama-lama di sana, cukup sehari. Kedua, berapa lama sih masa berbakti anggota dewan? Bandingkan pengabdi lainnya: TNI, POLRI, dan PNS yang hidupnya pas-pasan banget. Dengan hanya 5 tahun duduk di kursi dewan, apa yang bisa mereka perbuat selain duduk, diam, tidur, jalan-jalan dengan alasan studi banding, setelah itu minta jatah proyek pula. Ketiga, apa yang diperbuat anggota dewan yang katanya terhormat itu untuk rakyat banyak? Bandingkan lagi dengan TNI, POLRI, dan PNS yang setiap hari melayani rakyat, menjaga negeri bahkan meninggalkan anak isterinya untuk melayani rakyat dan negeri ini! Bukankah anggota dewan banyak yang hanya titip absen untuk rapat-rapat yang sebenarnya lebih efektif dihadiri beberapa orang saja. Kata orang sih banyak yang nggak mutu, nggak nyambung. Masih mending kalau putus-nyambung, kayak lagu. Itu pun dapat duit juga. Rapat saja dapat duit, ke mana memang gaji yang dibayarkan rakyat setiap bulannya berjuta-juta itu. Bukankah gaji itu untuk tugas dewan, yang tugasnya ya rapat-rapat itu, omdo alias omong doank. Kok dibayar pula! Aneh kan? Bandingkan lagi dengan rapat-rapat anggota TNI, POLRI, dan PNS. Kalaupun dapat, paling-paling jatah makan siang, biasa nasi kotak, yang kalau kelamaan rapatnya terkadang sudah agak basi. Keempat, kalau minta uang purna tugas, ya yang masuk akal, seperti uang ‘kerohiman’ atau pesangon lainnya. Tengok dong anggota TNI, POLRI, dan PNS yang uang Taspen-nya hanya cukup untuk uang gedung untuk kuliah satu orang anaknya padahal kerjanya berpuluh-puluh tahun. Atau bahkan karyawan-karyawan yang bikin baju, sepatu, jas, hingga kopiah anggota dewan, yang pesangonnya hanya cukup untuk makan seminggu dan setelah itu nganggur nggak karuan. Kelima, anggota dewan itu, setahun saja duduk sudah bisa naik haji, bawa keluarga lagi. Artinya penghasilannya sangat banyak. Bandingkan, berapa banyak anggota TNI, POLRI, dan PNS yang bahkan sampai pensiun pun belum dapat titel Haji juga. Keenam, gaji yang sangat besar dan adanya uang purna bakti akan mendorong seseorang untuk menjadi caleg, bukan karena niat pengabdiannya kepada rakyat, tetapi karena besarnya bayang-bayang duit yang bakal diperolehnya jika ia lolos menjadi anggota dewan. On the other words, sangat menjanjikan! Coba kalau gajinya disamakan saja dengan anggota TNI, POLRI, dan PNS; apa masih berminat??????

Rabu, 27 Mei 2009

Pemerintahan Yang Bermakna

Otonomi daerah sesungguhnya merupakan kebijakan sangat strategis dalam upaya memajukan daerah/ negara. Dengan otonomi, masyarakat daerah seharusnya dapat dimaksimalisasi dalam aktivitas ekonominya guna menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Demikian pula dengan pemerintah daerahnya, harus dapat diberdayakan agar berfungsi optimal. Selama ini politik sentralisasi dianggap menjadi faktor kunci penyebab lambannya kemajuan daerah. Karenanya memberdayakan daerah melalui desentralisasi adalah pilihan yang sangat masuk akal yang didorong oleh arus demokratisasi global yang terus menguat dan tak terhindarkan.
Namun demikian, kebangkitan daerah dari ketertinggalan tentu tidak serta merta terjadi dalam waktu singkat. Sebagian ada yang sudah berhasil dengan sangat baik bahkan mendahului yang lain. Namun sangat banyak yang terkesan biasa-biasa saja tidak berbeda dengan era sebelumnya, alias jalan di tempat. Ada banyak variabel yang bermain dalam menentukan keberhasilan otonomi, baik politik, potensi ekonomi, SDM, dsb.
Dominasi politik tingkat lokal seringkali dianggap sebagai sumber kekeliruan yang menghambat pencapaian tujuan otonomi. Karena ternyata, desentralisasi juga pada banyak kasus mengakibatkan munculnya dominasi kepentingan elit lokal dalam praktik berpemerintahan di daerah. Bahkan politisasi birokrasi sudah menjadi rahasia umum para elit untuk menggapai kepentingan individu atau kelompok tertentu. Oleh karenanya sangat dikhawatirkan, birokrasi menjadi semakin tidak profesional dan karenanya kurang berdaya. Hal ini semakin parah jika tidak dimilikinya standar kompetensi untuk jabatan-jabatan di birokrasi.
Dari dimensi administrasi, asas profesionalisme menjadi dasar bagi terwujudnya birokrasi yang akuntabel, yang dapat mempertanggung jawabkan tindakannya bahkan kepada masyarakat sebagai ‘pemegang saham’ negara, tidak sebatas tanggung jawab administratif kepada atasan. Adalah “kepercayaan” yang menjadi kata kunci untuk mempekerjakan seseorang pada posisi tertentu dalam birokrasi. Sangatlah wajar untuk menunjuk orang yang sudah teruji kesetiannya, demi lancarnya komando dan koordinasi program. Tentu akan sangat lebih berarti lagi, jika itu disertai dengan pertimbangan profesionalisme sebagai dasar kepercayaan di samping pertimbangan politis.
Bukan hanya masyarakat yang akan dirugikan jika birokrasi ternyata tidak kredibel untuk mewujudkan misi pemerintahan. Namun justeru dengan itu pula akan berdampak kontra produktif bagi pemerintahan yang sedang berjalan untuk meraih kepercayaan masyarakat berikutnya. Masyarakat yang kian cerdas akan menilai sejauhmana sukses yang diraih dan manfaat yang diberikan pemerintahannya. Sikap masyarakat demikian terus berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan hak-haknya sebagai warga negara (citizen). Masyarakat sudah jenuh dengan posisinya selama ini yang tidak lebih sebagai client dari pemerintah. Inilah yang dinamakan sebagai pergeseran paradigma administrasi yang menuntut pemerintah untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan eksternalnya. Trend golongan putih dalam pemilihan kepala daerah di beberapa tempat yang berkisar di angka 40 persen bisa menjadi indikator.
Dampak internal pengabaian asas profesionalisme adalah semakin melemahnya motivasi para birokrat untuk bekerja lebih kreatif dan inovatif. Mereka beranggapan itu semua tidak menjadi faktor determinan bagi karir seseorang. Dominasi politik juga menjadikan birokrat khususnya level bawah bersikap extra hati-hati dan cenderung takut mengambil resiko. Sikap hati-hati tentu baik, tapi jika berlebihan akan menjadikan pemerintahan kurang dinamik dan sulit menghasilkan terobosan-terobosan inovatif sebagai ciri organisasi modern. Kalau ini berlangsung terus menerus, maka tubuh pemerintahan sedang menuju “mati suri”. Padahal agar pemerintahan lebih bermanfaat bagi masyarakat, dibutuhkan banyak inovasi yang otomatis menuntut sikap berani mengambil resiko, bukan birokrasi yang hanya pandai menghafal dan menaati beragam peraturan dan prosedur.
Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan berotonomi sehingga lebih memberi makna hadirnya pemerintahan di tengah masyarakat, syarat pertama yang harus ada yaitu political will para elit untuk sama-sama welcome terhadap perubahan. Selanjutnya adalah mengeliminir dominasi dan intervensi politik atas birokrasi. Jika prakondisi ini telah tercapai, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana membentuk birokrasi yang profesional untuk mewujudkan tujuan pemerintahan otonom sekaligus memperkuat dukungan rakyat.
Dalam konteks ini, menumbuhkan semangat kewirausahaan dalam pemerintahan menjadi penting. Konsep entrepreneurial government tidak berarti menjadikan birokrasi seperti entitas bisnis yang mengukur kesusksesan dari dimensi finansial. Ia harus dimaknai sebagai sebuah semangat atau spirit untuk bekerja lebih kreatif dan inovatif guna mencapai tujuan otonomi : meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Di sinilah perlunya birokrasi yang profesional.
Dalam paradigma seperti ini, tidak relevan lagi menjadikan isu minimnya sumber daya alam sebagai dalih tidak berbuat lebih baik. Banyak negara dan daerah yang minus sumber daya alam, ternyata lebih maju dari lainnya. Beberapa daerah otonom dan negara-negara yang mampu mentransformasikan nilai-nilai entrepreneurship ke tubuh birokrasinya sudah membuktikan hipotesis ini. Hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa modal sumber daya alam bukan penentu untuk menjadikan pemerintahan lebih bermakna.