Rabu, 16 September 2009

Memberantas Korupsi Tanpa KPK ?

Beberapa bulan terakhir, semakin ramai perseteruan yang terjadi antara beberapa institusi penegak hukum di negeri ini. KPK yang selama ini sepak terjangnya mendapat pengakuan luar biasa dari masyarakat, kini seperti menjadi “musuh” bersama institusi penegak hukum lain. Banyak pertanyaan yang muncul di benak setiap kita. Mengapa mereka seperti “memusuhi” KPK? Adakah disebabkan oleh perasaan bersaing antar institusi? Bagaimana nasib KPK selanjutnya, apabila para pimpinannya masuk bui dan anggotanya ramai-ramai mengundurkan diri? Bagaimana pula penanganan masalah korupsi selanjutnya?

Mencermati prestasi KPK selama ini yang sukses dalam membuikan banyak koruptor, baik itu dari kalangan pusat maupun daerah membuat banyak pihak semakin ketakutan. Banyak pejabat sudah tidak bisa tidur nyeyak lagi karena khawatir setiap saat bisa-bisa dijemput KPK dan berpindah tempat tidur. Bagi yang clean tidak seharusnya demikian. Pertanyaannya, masih adakah pejabat negeri ini yang tidak terlibat sama sekali dalam lingkaran setan yang bernama korupsi. Tidak saja di pusat, bahkan di daerah pun cenderung semakin parah dari tahun ke tahun pada era otonomi. Dulu, di mana uang terkonsentrasi di pusat, korupsi pun minim sekali di daerah. Tapi ketika politik desentralisasi dimulai, korupsi pun ikut-ikut terdesentralisasi. Barangkali terdapat hubungan korelasional yang sangat logis antara keduanya: Di mana banyak uang, di sanalah korupsi bersemi. Model pilkada langsung juga bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan logika bahwa pilkada langsung mendorong munculnya fenomena tim sukses. Ikatan emosional yang kuat antara orang-orang di dalamnya dengan si kepala daerah yang suskes dihantarkannya ke kursi nomor 1 otomatis menciptakan budaya balas budi atau balas jasa. Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat pertalian familisme yang pada akhirnya rawan KKN (Baca tulisan Seymour Martin Lipset dan Gabriel Salman Lenz dalam Korupsi, Budaya, dan Pasar dalam buku Kebangkitan Peran Budaya).

Sebelum terbentuknya KPK, penanganan masalah korupsi menjadi kewenangan penuh institusi kepolisian dan kejaksaan. Namun dalam perjalanan, keduanya tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan keduanya dianggap tidak mampu menjalankan misinya. Image yang terbangun di masyarakat luas, kedua institusi ini pun tidak bersih dari korupsi sehingga dipertanyakan kesungguhannya untuk memberantas korupsi. Tidak sedikit insan penegak hukum itu yang justeru akhirnya menjadi penghuni hotel prodeo akibat kasus korupsi. Dalam kondisi “distrust” inilah lahir KPK yang pada akhirnya menjadi lembaga berjuluk superbody yang terkenal dengan kemampuan luar biasa dan tidak pandang bulunya dalam memberantas korupsi. Namun, mungkin justeru karena sikap tidak pandang bulunya itulah yang akhirnya menjadi “boomerang”.

Dengan semakin merebaknya korupsi sampai ke daerah-daerah kini, selain KPK, akankah rakyat dipaksa untuk percaya kepada institusi lain yang sudah terlanjur tidak berprestasi di mata rakyat? Andaikan KPK benar dililit kasus korupsi para pimpinannya seperti disangkakan, kepada siapa lagi kita percaya di negeri ini ???