Kamis, 24 September 2009

Akibat Nila Sebelanga, Rusak Susu ...

Para legislator, khususnya periode 2004-2009 kini sedang tak nyenyak tidur. Apa pasal? Mereka diminta untuk mengembalikan uang tunjangan komunikasi dan dana operasional yang telah mereka terima sejak dikeluarkannya PP No. 37 Tahun 2006. Padahal besaran uang tersebut tidaklah kecil, ratusan juta rupiah per senator telah menikmatinya. Bagaimana tidak, karena PP tersebut berlaku surut dan diterima dalam bentuk rapelan. Wow… trilyunan uang rakyat mengalir ke saku para legislator kala itu. Tentu tidak seorangpun menyangka bakal menuai masalah di kemudian hari. Desakan masyarakat yang menolak PP tersebut akhirnya terpaksa direspon Pemerintah dengan mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2007 yang menganulirnya. Alhasil, para legislator di deadline untuk mengembalikan uang tersebut paling lambat satu bulan sebelum berakhirnya masa bakti mereka tahun 2009. Jadi ingat pepatah orang tua “Di balik kesulitan ada kemudahan, di balik kenikmatan sengsara menghadang”.

Ironisnya, dari hasil investigasi, masih banyak yang belum memenuhi tuntutan pengembalian uang tersebut. Lobi-lobi politik pun banyak dilakukan agar dapat meringankan atau mendispensasi kewajiban mengembalikan uang yang sudah terlanjur diterima dan bahkan sudah habis dinikmati bersama keluarga. Siapapun pasti merasa dirugikan dengan PP baru tersebut. Namun, melihat kinerja kebanyakan legislator kita, baik di pusat ataupun di daerah wajar kiranya rakyat kecewa jika mereka menerima uang yang tergolong besar tersebut. Meskipun tentunya masih terdapat legislator yang berkinerja baik. Itulah akibatnya jika beberapa orang menunjukkan sesuatu yang buruk, yang lain pun ikut merasakan dampaknya. Orang bilang,”Akibat nila sebelanga rusak susu setitik”. Eh.. kebalik. Tapi jangan-jangan betul. Betul. Betul. Betul.

Minggu, 20 September 2009

Cegah Terorisme dengan Membatasi Ruang Hidupnya

Berita tewasnya Noordin M. Top, si gembong teroris asal negeri jiran Malaysia di tangan Densus 88 ramai menghiasi pemberitaan media massa. Sebagian besar kita tentu merasa bahagia di atas kematian seorang yang sekian lama membuat banyak orang selalu was-was. Was-was di tengah keramaian, was-was berada di hotel mewah, was-was berkunjung ke tempat-tempat wisata terutama yang dijubeli banyak turis asing. Pasti bukanlah mimpi setiap jiwa untuk hidup dalam ketidaktenangan, betapapun status sosial yang melatarinya. Meskipun Noordin telah mengakhiri petualangannya diujung senjata, tidak seorangpun mampu memastikan aksi-aksi terorisme pun berakhir. Dengan berbagai alasan, tidak saja latar agama sebagai pembenar dalih jihad, teror-teror akan tetap ada sepanjang masa. Kesenjangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb menjadi triger munculnya ketidakpuasan. Apalagi jika hal itu dilengkapi dengan biasnya pengetahuan agama yang dimiliki.

Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita bukanlah tewasnya seseorang. Tewasnya Noordin bisa saja justeru menjadi pemicu sebuah “perang”. Teror balas dendam para pengikut setianya patut untuk mendapat perhatian, agar kita tak merasa sangat puas dan akhirnya lengah. Setiap saat kejadian-kejadian serupa bisa saja muncul lagi.

Sangat perlu bagi kita untuk melakukan antisipasi dini untuk mengurangi ruang gerak dan berkembangnya terorisme. Dari pendekatan civil society, setidaknya kita dapat melakukan beberapa hal berikut.

Pertama, lakukan refungsionalisasi dan revitalisasi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di sekitar kita, seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, Karang Taruna, dsb. Lembaga-lembaga tersebut harus meningkatkan kepeduliannya terhadap mobilitas dan aktivitas masyarakatnya. Menjadi pengurus RT/RW tentu bukan sekadar ngurusin KTP warga. Tapi menjaga kerukunan, kenyamanan, dan ketentraman jauh lebih berarti. Apalagi di banyak Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga ini telah diberikan insentif khusus untuk menunjang kegiatannya, meskipun tidak cukup untuk menghidupi keluarga.

Kedua, aktifkan kembali sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dahulu pernah ada dan mungkin di beberapa daerah masih berjalan. Siskamling lebih baik dilakukan secara bergiliran oleh warga setempat. Namun di kota-kota yang warganya super sibuk, hal itu sulit dilakukan. Karenanya, jika ditugaskan orang khusus yang dibayar, harus ada penekanan untuk selalu waspada dan berkomunikasi dengan warga.

Ketiga, tingkatkan kepedulian hidup bertetangga. Lihat gerak-gerik yang mencurigakan terutama jika ada orang-orang baru atau tamu yang sering keluar masuk rumah dan lingkungan tertentu. Pedulilah dengan mereka yang bernasib kurang baik, miskin, atau pengangguran.

Keempat, ajarkan keluarga Anda perihal yang benar dari Agama. Ingat ajaran “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Kalau yang terakhir ini saja kita semua pegang, pasti banyak masalah yang bisa diatasi. Tidak ada lagi yang ikut-ikutan jadi teroris. Dan juga tak ada lagi remaja yang nge-drug.



Rabu, 16 September 2009

Memberantas Korupsi Tanpa KPK ?

Beberapa bulan terakhir, semakin ramai perseteruan yang terjadi antara beberapa institusi penegak hukum di negeri ini. KPK yang selama ini sepak terjangnya mendapat pengakuan luar biasa dari masyarakat, kini seperti menjadi “musuh” bersama institusi penegak hukum lain. Banyak pertanyaan yang muncul di benak setiap kita. Mengapa mereka seperti “memusuhi” KPK? Adakah disebabkan oleh perasaan bersaing antar institusi? Bagaimana nasib KPK selanjutnya, apabila para pimpinannya masuk bui dan anggotanya ramai-ramai mengundurkan diri? Bagaimana pula penanganan masalah korupsi selanjutnya?

Mencermati prestasi KPK selama ini yang sukses dalam membuikan banyak koruptor, baik itu dari kalangan pusat maupun daerah membuat banyak pihak semakin ketakutan. Banyak pejabat sudah tidak bisa tidur nyeyak lagi karena khawatir setiap saat bisa-bisa dijemput KPK dan berpindah tempat tidur. Bagi yang clean tidak seharusnya demikian. Pertanyaannya, masih adakah pejabat negeri ini yang tidak terlibat sama sekali dalam lingkaran setan yang bernama korupsi. Tidak saja di pusat, bahkan di daerah pun cenderung semakin parah dari tahun ke tahun pada era otonomi. Dulu, di mana uang terkonsentrasi di pusat, korupsi pun minim sekali di daerah. Tapi ketika politik desentralisasi dimulai, korupsi pun ikut-ikut terdesentralisasi. Barangkali terdapat hubungan korelasional yang sangat logis antara keduanya: Di mana banyak uang, di sanalah korupsi bersemi. Model pilkada langsung juga bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan logika bahwa pilkada langsung mendorong munculnya fenomena tim sukses. Ikatan emosional yang kuat antara orang-orang di dalamnya dengan si kepala daerah yang suskes dihantarkannya ke kursi nomor 1 otomatis menciptakan budaya balas budi atau balas jasa. Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat pertalian familisme yang pada akhirnya rawan KKN (Baca tulisan Seymour Martin Lipset dan Gabriel Salman Lenz dalam Korupsi, Budaya, dan Pasar dalam buku Kebangkitan Peran Budaya).

Sebelum terbentuknya KPK, penanganan masalah korupsi menjadi kewenangan penuh institusi kepolisian dan kejaksaan. Namun dalam perjalanan, keduanya tidak menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bahkan keduanya dianggap tidak mampu menjalankan misinya. Image yang terbangun di masyarakat luas, kedua institusi ini pun tidak bersih dari korupsi sehingga dipertanyakan kesungguhannya untuk memberantas korupsi. Tidak sedikit insan penegak hukum itu yang justeru akhirnya menjadi penghuni hotel prodeo akibat kasus korupsi. Dalam kondisi “distrust” inilah lahir KPK yang pada akhirnya menjadi lembaga berjuluk superbody yang terkenal dengan kemampuan luar biasa dan tidak pandang bulunya dalam memberantas korupsi. Namun, mungkin justeru karena sikap tidak pandang bulunya itulah yang akhirnya menjadi “boomerang”.

Dengan semakin merebaknya korupsi sampai ke daerah-daerah kini, selain KPK, akankah rakyat dipaksa untuk percaya kepada institusi lain yang sudah terlanjur tidak berprestasi di mata rakyat? Andaikan KPK benar dililit kasus korupsi para pimpinannya seperti disangkakan, kepada siapa lagi kita percaya di negeri ini ???

Kamis, 10 September 2009

Birokrasi Terjebak Pragmatisme

Otonomi daerah tentu saja memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di tingkat local. Rakyat di daerah kini memiliki kesempatan yang besar untuk melibatkan diri dalam perpolitikan daerah. Tidak sedikit kita lihat mereka yang tiba-tiba muncul jadi politisi. Semua orang seperti terdorong untuk ikut dalam setiap kesempatan berkompetisi, menjual popularitas, menjajal kepiawaian menarik simpati rakyat demi memperoleh posisi ‘terhormat’. Menjadi orang nomor satu adalah sasaran utama. Bagi yang belum yakin minimal melakukan uji popularitas dulu merebut salah satu kursi legislatif.

Tim sukses pun banyak bermunculan untuk meloloskan “jago” masing-masing. Ada kebanggaan dan harapan tersendiri sudah pasti menyelimuti setiap orang yang menjadi tim sukses atau TS. Dekat dengan orang yang memiliki kekuasaan adalah sebuah kebahagiaan luar biasa bagi sebagian besar masyarakat kita. Maklum, banyak dari kita yang berorientasi kekuasaan. Tidak salah kalau kita dikatakan masih memegang erat budaya paternalisme. Realitas pun menyatakan bahwa mereka yang dekat dengan kekuasaan memperoleh keistimewaan-keistimewaan tertentu.

Adalah manusiawi jika seorang yang sukses mencapai keinginannya memperoleh sesuatu melakukan balas budi kepada mereka yang mengantarkannya kepada kesuksesan itu. Sebaliknya jika tidak, maka ia dikatakan sebagai orang yang tak tahu balas budi atau tidak mengerti berterima kasih. Lebih buruk lagi, durhako!

Tidak saja di kalangan masyarakat umumnya, fenomena tim sukses bahkan merasuk dalam birokrasi. Lihat saja pilkada-pilkada yang berlangsung, selalu ada dukung-mendukung calon yang tidak jarang melembaga menjadi sebuah tim; tim sukses si A, tim sukses si B, dsb. Apalagi jika ada birokrat yang selama di bawah kepemimpinan kepala daerah yang ada merasa diperlakukan tidak adil, didiskriminasi oleh si kepala daerah dan antek-anteknya. Bahkan tidak sedikit birokrat seperti itu mengambil langkah lebih maju lagi; ikut bertarung merebut kursi nomor satu. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua, karena berpolitik adalah hak setiap warga negara. Dan fenomena TS di kalangan birokrasi maupun di masyarakat umum tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, meskipun kode etik tidak membenarkannya. Dengan kata lain, birokrasi kini terjebak dalam pragmatisme. Alhasil, birokrasi tidak lagi berasaskan profesionalisme!