Minggu, 20 September 2009

Cegah Terorisme dengan Membatasi Ruang Hidupnya

Berita tewasnya Noordin M. Top, si gembong teroris asal negeri jiran Malaysia di tangan Densus 88 ramai menghiasi pemberitaan media massa. Sebagian besar kita tentu merasa bahagia di atas kematian seorang yang sekian lama membuat banyak orang selalu was-was. Was-was di tengah keramaian, was-was berada di hotel mewah, was-was berkunjung ke tempat-tempat wisata terutama yang dijubeli banyak turis asing. Pasti bukanlah mimpi setiap jiwa untuk hidup dalam ketidaktenangan, betapapun status sosial yang melatarinya. Meskipun Noordin telah mengakhiri petualangannya diujung senjata, tidak seorangpun mampu memastikan aksi-aksi terorisme pun berakhir. Dengan berbagai alasan, tidak saja latar agama sebagai pembenar dalih jihad, teror-teror akan tetap ada sepanjang masa. Kesenjangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb menjadi triger munculnya ketidakpuasan. Apalagi jika hal itu dilengkapi dengan biasnya pengetahuan agama yang dimiliki.

Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita bukanlah tewasnya seseorang. Tewasnya Noordin bisa saja justeru menjadi pemicu sebuah “perang”. Teror balas dendam para pengikut setianya patut untuk mendapat perhatian, agar kita tak merasa sangat puas dan akhirnya lengah. Setiap saat kejadian-kejadian serupa bisa saja muncul lagi.

Sangat perlu bagi kita untuk melakukan antisipasi dini untuk mengurangi ruang gerak dan berkembangnya terorisme. Dari pendekatan civil society, setidaknya kita dapat melakukan beberapa hal berikut.

Pertama, lakukan refungsionalisasi dan revitalisasi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di sekitar kita, seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, Karang Taruna, dsb. Lembaga-lembaga tersebut harus meningkatkan kepeduliannya terhadap mobilitas dan aktivitas masyarakatnya. Menjadi pengurus RT/RW tentu bukan sekadar ngurusin KTP warga. Tapi menjaga kerukunan, kenyamanan, dan ketentraman jauh lebih berarti. Apalagi di banyak Pemerintah Daerah, lembaga-lembaga ini telah diberikan insentif khusus untuk menunjang kegiatannya, meskipun tidak cukup untuk menghidupi keluarga.

Kedua, aktifkan kembali sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dahulu pernah ada dan mungkin di beberapa daerah masih berjalan. Siskamling lebih baik dilakukan secara bergiliran oleh warga setempat. Namun di kota-kota yang warganya super sibuk, hal itu sulit dilakukan. Karenanya, jika ditugaskan orang khusus yang dibayar, harus ada penekanan untuk selalu waspada dan berkomunikasi dengan warga.

Ketiga, tingkatkan kepedulian hidup bertetangga. Lihat gerak-gerik yang mencurigakan terutama jika ada orang-orang baru atau tamu yang sering keluar masuk rumah dan lingkungan tertentu. Pedulilah dengan mereka yang bernasib kurang baik, miskin, atau pengangguran.

Keempat, ajarkan keluarga Anda perihal yang benar dari Agama. Ingat ajaran “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Kalau yang terakhir ini saja kita semua pegang, pasti banyak masalah yang bisa diatasi. Tidak ada lagi yang ikut-ikutan jadi teroris. Dan juga tak ada lagi remaja yang nge-drug.