Sabtu, 13 Februari 2010

Kelurahan Dalam Dua Paradigma

Jika kita mencermati kedudukan organisasai kelurahan pasca orde baru, maka terdapat beberapa perbedaan mendasar antara dua produk undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang diproduksi saat reformasi masih hangat-hangatnya serta Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang menggantikannya.
Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 kelurahan merupakan perangkat kecamatan. Dengan demikian, konsekuensi selanjutnya adalah kelurahan bertanggung jawab kepada camat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam bidang kepegawaian, PNS yang bertugas di kelurahan merupakan perangkat kecamatan, sehingga mutasi antar kecamatan pun menjadi relatif sulit dilakukan. Kewenangan kelurahan berasal dari kewenangan Camat yang dilimpahkan. Secara ringkasnya, hubungan antara kelurahan dengan kecamatan bersifat hirarki.
Berbeda dengan itu, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menempatkan kelurahan tidak lagi sebagai perangkat kecamatan, akan tetapi berkedudukan sebagai perangkat daerah sebagaimana unit kerja lainnya yang secara administrasi lingkup wilayahnya berada dalam wilayah kecamatan. Di sini kelurahan tidak lagi menerima limpahan kewenangan dari camat, tetapi menerima pelimpahan sebagian urusan otonomi daerah dari Walikota atau Bupati. Pegawai kelurahan pun dalam konteks undang-undang ini otomatis merupakan pegawai daerah. Sementara itu, hubungan antara kelurahan dan kecamatan lebih bersifat koordinasi dan fasilitasi, bukan hirarki.
Dengan adanya perubahan yang cukup mendasar tersebut, sebagian pihak mengkhawatrirkan akan melemahnya ‘posisi’ kecamatan di hadapan kelurahan karena tidak lagi memiliki hubungan hirarki. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena sejak Undang-undang Nomor 22/ 1999 sampai Undang-undang nomor 32/2004 berlaku, antara Provinsi dan kabupaten/ kota pun tidak memiliki hubungan hirarki seperti sebelumnya. Dan kenyataan saat itu, banyak gubernur yang merasa kesulitan mengkoordinasikan bupati/ walikota. Banyak kabupaten dan kota mengalami eforia otonomi daerah yang merasa tidak wajib lagi patuh kepada gubernur.
Terkait dengan kedudukan kecamatan terhadap kelurahan, untuk mengantisipasi kekhawatiran sebagaimana terjadi pada hubungan provinsi dan kabupaten/ kota, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan peraturan pertama sejak Indonesia merdeka yang secara khusus mengatur tentang kecamatan. Dengan PP ini, kedudukan camat terhadap kelurahan menjadi sangat jelas. Meskipun tidak bersifat hirarki, camat diberikan cukup besar kewenangan yang mendudukannya tidak sekedar pengkoordinasi dan fasilitasi aktivitas kelurahan. Bahkan pada praktiknya, camat turut menentukan ‘nasib’ lurah dan perangkatnya.
Berkenaan dengan pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dari walikota/ bupati kepada lurah, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 tahun 2007 yang di antaranya mengatur bahwa urusan yang dilimpahkan merupakan urusan wajib dan urusan pilihan. Beberapa daerah telah pula menindaklanjuti dengan mengeluarkan peraturan mengenai pelimpahan sebagian urusan tersebut. Kota Banjarmasin sebagai contoh, telah mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 07 tahun 2007 yang mengatur tentang pelimpahan sebagian kewenangan Walikota kepada Camat dan Urusan kepada Lurah.
Di tengah perjalanannya, dikeluarkan Perda Nomor 15 tahun 2008 sebagai tindak lanjut dari PP 38 dan PP 41 tahun 2007. Terkait dengan kelurahan, secara sangat mendasar terdapat satu kejanggalan dalam Perda tersebut, khususnya yang mengatur tentang tugas lurah. Pasal 66 Perda tersebut menyebutkan bahwa lurah menerima pelimpahan kewenangan dari Camat. Hal ini tentu berbeda sekali dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah dikemukakan di atas tadi yang menyebutkan bahwa lurah menjalankan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan walikota atau bupati. Kalau ditarik ke belakang, sandaran hukum pasal 66 tersebut nampaknya masih mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 yang tidak berlaku lagi karena telah digantikan oleh UU Nomor 32 tahun 2004.
Kalau pasal 66 tersebut masih mengacu pada paradigma terdahulu yaitu UU No.22 tahun 1999, tentu akan menemui kesulitan dalam implementasinya. Hal ini lebih dikarenakan tidak adanya peraturan pelaksana yang berkaitan dengan pelimpahan kewenangan camat kepada lurah. Bahkan peraturan pelaksana tersebut tidak akan pernah ada, kecuali terjadi perubahan pada UU No.32 tahun 2004 yang sejalan dengan itu.