Kamis, 10 September 2009

Birokrasi Terjebak Pragmatisme

Otonomi daerah tentu saja memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di tingkat local. Rakyat di daerah kini memiliki kesempatan yang besar untuk melibatkan diri dalam perpolitikan daerah. Tidak sedikit kita lihat mereka yang tiba-tiba muncul jadi politisi. Semua orang seperti terdorong untuk ikut dalam setiap kesempatan berkompetisi, menjual popularitas, menjajal kepiawaian menarik simpati rakyat demi memperoleh posisi ‘terhormat’. Menjadi orang nomor satu adalah sasaran utama. Bagi yang belum yakin minimal melakukan uji popularitas dulu merebut salah satu kursi legislatif.

Tim sukses pun banyak bermunculan untuk meloloskan “jago” masing-masing. Ada kebanggaan dan harapan tersendiri sudah pasti menyelimuti setiap orang yang menjadi tim sukses atau TS. Dekat dengan orang yang memiliki kekuasaan adalah sebuah kebahagiaan luar biasa bagi sebagian besar masyarakat kita. Maklum, banyak dari kita yang berorientasi kekuasaan. Tidak salah kalau kita dikatakan masih memegang erat budaya paternalisme. Realitas pun menyatakan bahwa mereka yang dekat dengan kekuasaan memperoleh keistimewaan-keistimewaan tertentu.

Adalah manusiawi jika seorang yang sukses mencapai keinginannya memperoleh sesuatu melakukan balas budi kepada mereka yang mengantarkannya kepada kesuksesan itu. Sebaliknya jika tidak, maka ia dikatakan sebagai orang yang tak tahu balas budi atau tidak mengerti berterima kasih. Lebih buruk lagi, durhako!

Tidak saja di kalangan masyarakat umumnya, fenomena tim sukses bahkan merasuk dalam birokrasi. Lihat saja pilkada-pilkada yang berlangsung, selalu ada dukung-mendukung calon yang tidak jarang melembaga menjadi sebuah tim; tim sukses si A, tim sukses si B, dsb. Apalagi jika ada birokrat yang selama di bawah kepemimpinan kepala daerah yang ada merasa diperlakukan tidak adil, didiskriminasi oleh si kepala daerah dan antek-anteknya. Bahkan tidak sedikit birokrat seperti itu mengambil langkah lebih maju lagi; ikut bertarung merebut kursi nomor satu. Tentu tidak ada yang salah dengan itu semua, karena berpolitik adalah hak setiap warga negara. Dan fenomena TS di kalangan birokrasi maupun di masyarakat umum tidak dapat dipungkiri lagi keberadaannya, meskipun kode etik tidak membenarkannya. Dengan kata lain, birokrasi kini terjebak dalam pragmatisme. Alhasil, birokrasi tidak lagi berasaskan profesionalisme!